Perayaan Pattidana 2016
~Tuesday, 29 March 2016
Pada tanggal 10 April 2016 mendatang, bertepatan jatuh pada hari Minggu, Vihara Grha Buddha Manggala akan kembali mengadakan Upacara Patidana Ching Ming Festival. Upacara seperti ini rutin diadakan setiap tahunya oleh Vihara Grha Buddha Manggala, mengapa demikian? Dan apakah wajib hukumnya bagi umat Buddha untuk melaksanakan upacara ini?
Alasan yang cukup kuat untuk pertanyaan tersebut adalah, bahwa umat Buddha perlu menanaman rasa berterimakasih, atas apa yang telah dilakukan oleh para leluhur di jaman dulu kepada kita. Menjadi tidak mungkin, hidup tanpa adanya leluhur yang telah mendahului kita, dan tanpa disadari jasa para leluhur sangat besar atas kehidupan saat ini.
Pertanyaan kedua, apakah wajib? Dalam ajaran Buddha tidak ada kata atau istilah “wajib”, mengapa? Karena dibalik kata wajib terdapat keharusan dan paksaan. Istilah wajib lebih ditekankan pada “kesadaran”. Yang dimaksud dengan “kesadaran” disini adalah, hendaknya upacara semacam ini disadari bermanfaat bagi diri sendiri dan para leluhur, karena dengan melaksanakan upacara tersebut menjadi salah satu bentuk penghargaan atau wujud bakti kepada para leluhur yang telah meninggal.
Pattidana dilihat dari sisi sejarah dalam ajaran Buddha
Dalam literature Buddhist, berkenaan dengan riwayat hidup Buddha, diceritakan bahwa pada suatu ketika Buddha sedang menetap di Hutan Bambu Veluvana, tempat tersebut adalah hasil dari kedermawanan seorang raja yang bernama Bimbisara. Raja Bimbisara merupakan raja pertama yang menyatakan untuk menjadi penyokong dan pengikut Buddha.
Malam itu, raja Bimbisara melewati malam yang sangat mengerikan seumur hidupnya. Ia tidak bisa tidur karena mendengar lengkingan dan suara-suara hantu (peta) yang mengerikan di sekitar kediaman sepanjang malam. Menghadapi kenyataan itu, Ia menjadi sangat ketakutan, hingga bulu kuduknya berdiri dan rambut menjadi tegak. Ia sungguh ketakutan di malam itu. Karena merasa sangat menderita, pada pagi harinya Raja menemui Buddha, di kediaman-Nya Veluvana.
Sebelum Raja menanyakan hal menakutkan yang Ia alami, dengan kekuatan Buddha yang maha tahu, terlebih dahulu Buddha menanyakan tentang hal tersebut. Buddha memberi nasihat kepada raja untuk tidak merasa takut, kejadian tersebut dikarenakan beberapa keluarga dari Raja dimasa lampau ada yang terlahir di alam menderita (peta). Mereka mengharapkan pelimpahan jasa dari masa ke masa, bahkan sejak masa Buddha yang lampau. Setelah bertemu dengan masa Buddha lagi, yaitu Buddha Gotama, para peta ini sudah sangat menunggu pelimpahan jasa dari Raja. Karena rasa suka cita Raja melayani Buddha dalam hal jamuan makan, Raja lupa melimpahkan jasanya kepada sanak keluarga yang telah meninggal. Dengan sebab itulah, para hantu mengeluarkan suara yang menyeramkan yang mengakibatkan Raja sangat menderita.
Mendengar hal itu kemudian Raja Bimbisara dengan segera menyatakan undangan jamuan kepada Buddha dan para Bhikkhu. Dengan tujuan, jasa yang nantinya diperoleh akan dilimpahkan kepada sanak keluarga, para leluhur yang telah meninggal. Dengan harapan; “semoga atas jasa yang Ku lakukan ini, dapat mengkondisikan sanak keluarga dan para leluhur yang telah meninggal terlahir di alam yang bahagia”.
Atas kejadian tersebut setiap kali Raja Bimbisara melakukan jasa kebajikan, Ia selalu melimpahkan jasa kebajikannya, dan berharap semoga para leluhur dan semua mahkluk hidup berbahagia.
Dari kisah nyata di masa Buddha tersebut, sampai saat ini Pattidana masih tetap di lakukan turun temurun oleh umat Buddha dengan pengertian benar. Tujuannya adalah untuk menunjukan bentuk bakti kepada para leluhur yang sudah meninggal.
Pattidana Ching Ming di masa Moderen
Sebagai umat Buddha, hendanya memahami pengertian upacara pattidana secara benar. Jika tidak, maka akan muncul pemahaman yang keliru, bahkan timbul sifat untuk mengabaikan upacara tersebut. Memang, dimasa yang modern ini pattidana dilakukan dengan cara yang lebih modern, dan dengan berbagai cara. Ada sebagian berdana dalam bentuk barang, berdana dalam bentuk jasa, atau berdana dalam bentuk mata uang. Ynag terpenting adalah menjadikan momen pattidana sebagai sarana berbuat kebajikan.
Menyikapi fenomena tersebut hendaknya seorang Buddhist memahami maknanya. Satu contoh; sebuah Vihara mengadakan Pattidana Ching Ming, lalu meprioritaskan hasil dana Ching Ming tersebut untuk tujuan yang bermanfaat; pembangunan vihara, penyempurnaan fasilitas, dlsb, maka hendanya itu harus didukung dengan pemahaman yang benar. Pembangunan gedung vihara contohnya, akan menghasilkan kebajikan yang sangat berlipat ganda. Selama gedung vihara tersebut digunakan oleh umat Buddha untuk beribadah, maka selama itu pula kebajikan dari menyokong pembangunan vihara akan terus mengalir dan berbuah kebahagiaan.
Untuk itu apabila umat Buddha menjumpai momen pelaksanaan upacara Pattidana Ching Ming Festival, maka kesempatan yang baik itu janganlah disia-siakan. Selain sebagai latihan untuk terus mewujudkan bakti kepada leluhur yang telah meninggal, juga sebagai sarana dalam menambah perbuatan baik/kebajikan.
Undangan Terbuka Bagi Umat Buddha
Ditahun 2016 ini, seperti tulisan diawal pembuka di atas, Upacara Pattidana Ching Ming Festival akan diadakan oleh Vihara Grha Buddha Manggala pada hari Minggu, 10 April 2016 mendatang. Mari gunakan kesempatan ini dengan baik. Mari bersama – sama kita melaksanaan upacara, mengenang jasa mereka, para leluhur, sanak keluarga yang telah meninggal. Dan yang paling penting adalah kita turut serta berbuat kebaikan.
Berikut kami lampirkan formulir Ching Ming Pattidana 2016: