PINDAPATA Sabtu, 09 April 2016
Vihara Grha Buddha Manggala kembali akan mengadakan tradisi yang dijalankan oleh para Buddha di masa lampau. Tradisi tersebut adalah Pindapatta. Mungkin sebagian umat Buddha awam belum begitu mengenal apa itu pindapatta, untuk itu admin VGBM akan menjelaskan pindapata secara singkat sebagai berikut:
Pindapatta berasal dari bahasa Pali, secara harafiah Pindapatta berasal dan dua suku kata, yaitu: Pinda dan Patta. Pinda berarti gumpalan/bongkahan (makanan) dan Patta berarti mangkuk makan. Jadi dapat diartikan pindapata adalah pengumpulan makanan dengan mangkuk oleh para bhikkhu dari rumah ke rumah penduduk. Namun demikian, mungkin dengan pengertian di atas diantara kita menjadi bingung. Dengan sederhana, Pindapatta dimasa sekarang dapat diartikan “berdana kepada Bhikkhu Anggota Sangha”, terutama berdana dalam bentuk Empat kebutuhan pokok, meliputi; Jubah, makanan, obat-obatan, dan tempat tinggal.
Sejarah Tradisi Pindapatta
Pada zaman dahulu, para petapa umumnya mengumpulkan dana makanan ke rumah-rumah penduduk untuk memenuhi kebutuhan makan mereka. Begitu pula dengan Sang Buddha, setiap pagi Sang Buddha dan rombongan para bhikkhu pergi meninggalkan vihara, memasuki desa atau kota untuk berpindapata. Pindapata ini merupakan suatu cara pendekatan masyarakat secara Agama Buddha. Tak jarang ketika Sang Buddha dan para bhikkhu berpindapata, masyarakat tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang Sang Buddha atau para bhikkhu, seperti Upatissa yang begitu terkesan melihat bhikkhu Assaji yang sedang berpindapata atau Bahiya yang berpakaian kulit kayu (Bahiyadaruciriya) berjumpa Sang Buddha saat Beliau berpindapata dan memohon Sang Buddha memberikan uraian Dhamma. Mereka berdua pada akhirnya tertarik untuk menjalani kehidupan kebhikkhuan, Upatissa kelak dikenal dengan nama Sariputta, namun kondisi karma buruk Bahiya berbuah, Beliau meninggal diseruduk sapi (jelmaan Asura) ketika mencari perlengkapan kebhikkhuannya, tetapi Bahiya telah mencapai tingkat kesucian Arahat setelah ia mendengar beberapa kalimat Dhamma dari Sang Buddha.
Bagaimanakah asal mula dan tradisi pindapatta ini bemula?
Pada tahun ketiga, Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu atas undangan dari Raja Suddhodana. Beliau beserta rombongan yang berjumlah dua puluh ribu bhikkhu berangkat dari Rajagaha menuju Kapilavatthu.
Sang Buddha beserta rombongan tiba di Kapilavatthu dan berdiam di Nigrodarama. Raja Suddhodana dan penduduk berduyun-duyun menemui Sang Buddha. Karena mengetahui bahwa para orang tua suku Sakya memiliki watak yang sombong, Sang Buddha menunjukkan keajaiban ganda (yamakapatihariya) kepada mereka. Api menyala di bagian atas tubuh Beliau dan air memancar dari tubuh bagian bawah dan sebaliknya. Setelah orang-orang suku Sakya dapat diyakinkan bahwa Sang Buddha telah mencapai ke-Buddha-an, kemudian Beliau duduk dengan tenang di tempat yang telah disediakan.
Raja Suddhodana menanyakan kabar Sang Buddha dan mengajukan beberapa pertanyaan lainnya kepada Beliau. Di akhir tanya-jawab Raja Suddhodana berhasil memperoleh mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Berhubung tidak mendapat undangan makan di istana, maka keesokan harinya Sang Buddha berserta rombongan memasuki kota Kapilavatthu untuk berpindapata. Penduduk kota menjadi gempar. Memang mereka sering melihat seorang petapa atau brahmana berpindapata, tetapi baru sekarang mereka menyaksikan seorang berkasta Khattiya, putra dari seorang raja, berpindapata. Berita ini sampai ke telinga Raja Suddhodana, dan raja segera menemui Sang Buddha dan menegur Beliau. “Mengapakah anakku melakukan perbuatan yang sangat memalukan ini? Mengapakah anakku tidak datang saja ke istana untuk mengambil makanan? Apakah pantas seorang putra raja meminta-minta makanan di kota, tempat ia dulu sering berjalan-jalan dengan kereta emas? Mengapa anakku membuat malu ayahnya seperti ini?”
“Aku tidak membuat ayah malu, Oh Baginda. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan kita,” jawab Sang Buddha dengan tenang. “Apa, kebiasaan kita? Bagaimana mungkin! Tidak pernah seorang anggota keluarga kita minta-minta makanan seperti ini. Dan anakku mengatakan bahwa ini sudah menjadi kebiasaan kita?”
“Oh, baginda, ini memang bukan merupakan kebiasaan seorang anggota keluarga kerajaan, tetapi ini adalah kebiasaan para Buddha. Semua Buddha di jaman dahulu hidup dengan jalan mengumpulkan dana makanan dari para penduduk.”
Setelah Raja Suddhodana tetap mendesak agar Sang Buddha beserta rombongan mengambil makanan di istana, maka berangkatlah Sang Buddha berserta rombongan ke sana.
Sabtu, 09 April 2016 Vihara Grha Buddha Manggala akan mengadakan Tradisi Pindapatta
Tepat hari Sabtu, 09 April 2016 mendatang akan dilaksanakan tradisi Pindapatta yang berlokasi di kompleks Penuin. Rute kegiatan dimulai dari Kantor Pemasaran Penuin, Toko Oleh-oleh, RM. Zhen Bao, Indo Thai, lalu kembali ke Kantor Pemasaran Penuin. Panitia jauh-jauh hari telah mempersiapkan untuk acara ini, dan diharapkan umat Buddha kota Batam khususnya dapat memanfaatkan kesempatan langka ini. Selain menyaksikan tradisi yang pernah dilakukan oleh Buddha dimasa lampau, poin yang paling penting adalah berbuat baik/kebajikan dengan berdana/memberi kepada Bhikkhu Anggota Sangha. Mari gunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya, dan jangan lupa hadir dalam acara Pindapatta yang dilaksanakan tanggal 09 April 2016 mendatang.